ZONAJAKARTA.COM - Perusahaan pesawat Dassault Aviation, Prancis, menginginkan Indonesia tak hanya mengakuisisi 42 jet tempur Rafale, tapi 100 Rafale.
Skenario ini bisa menjadi kenyataan jika Indonesia dan Prancis mencapai kesepakatan dan merasa sama-sama mendapatkan keuntungan.
Wacana ini muncul karena Indonesia lewat PT Dirgantara Indonesia (PTDI) berharap ada transfer teknologi yang sempurna.
PTDI berharap ikut memproduksi beberapa komponen pesawat secara mandiri di Bandung.
Sehingga, Indonesia bisa menjadi bagian dari rantai produksi global.
Bahkan, Indonesia melalui PTDI bisa ikut merakit unit pesawat tempur secara lengkap seperti yang dilakukan India dalam produksi jet tempur buatan Rusia.
Sebelum bisa ikut merakit pesawat buatan Rusia, India juga terlebih dulu mengakuisisi 100 Sukhoi.
Wacana tersebut pernah diantkat Topwar pada 20 Februari 2022.
"Jika jet tempur Prancis diproduksi di wilayah negara tersebut (Indonesia), total hingga seratus pesawat dapat dibeli," jelas Topwar.
"Program kerja sama serupa juga ditawarkan kepada India. Ketika membeli pesawat lebih banyak dari jumlah yang disepakati sebelumnya, maka akan dimungkinkan untuk memproduksinya secara lokal," jelasnya.
Artinya, jika Indonesia ingin transfer teknologi secara sempurna dan komprehensif dan mendapat lisensi memproduksi Rafale sendiri, maka harus menambah pembelian 88 unit Rafale lagi.
Sehingga, jumlah Rafale yang diakuisisi Indonesia akan genap 100 unit.
Itu bagian dari persyaratan Dassault Aviation untuk memberikan lisensi kepada Indonesia melalui PTDI untuk bisa memproduksi Rafale.
Proses negosiasi alih teknologi Rafale masih terus dibahas oleh pemerintah Indonesia dan Dassault Aviation.
Seperti dilaporkan Antara, 1 Juli 2024, PTDI mengusulkan adanya engineering work package (EWP) dalam kerja sama offset (imbal beli) pengadaan alutsista buatan asing, termasuk jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation, Perancis.
Kementerian Pertahanan pada 9 Januari 2024 mengumumkan Indonesia resmi memborong 42 jet tempur Rafale dari Perancis.
Proses pembuatannya mencakup sejumlah kerja sama alih teknologi (ToT) dan offset antara Dassault Aviation, PT Dirgantara Indonesia, dan PT Len Industri.
“Di luar offset yang sudah menjadi standar Kementerian Pertahanan, kami usulkan satu proposal yang disebut engineering work package," kata Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia, Gita Amperiawan, pada jumpa pers bersama jajaran direksi Defend ID di Jakarta, 1 Juli 2024.
"Engineering work package adalah satu offset yang kami tawarkan adalah kemampuan brain daripada engineer (teknisi) untuk menyelesaikan masalah dari aspek engineering, analisis, drawing dan sebagainya,” tambahnya.
PTDI ingin memproduksi beberapa komponen pesawat secara mandiri agar bisa menjadi bagian dari rantai produksi global, bahkan merakit unit pesawat tempur secara lengkap.
"Ke depannya kami bisa menjadi bagian dari rantai produksi global mereka,” tegas Gita Amperiawan.
Negosiasi antara Indonesia dan Prancis untuk memperoleh jet tempur Rafale dimulai pada awal tahun 2021.
Ini bagian dari usaha Indonesia memodernisasi angkatan udaranya.
Pada Februari 2022, kedua negara secara resmi menandatangani kontrak untuk akuisisi 42 jet tempur Rafale F4.
Kesepakatan tersebut merupakan bagian dari kemitraan strategis yang lebih besar antara Prancis dan Indonesia di bidang pertahanan.
Tujuan utamanya adalah meningkatkan kemampuan tempur Indonesia mengingat meningkatnya ketegangan di kawasan Indo-Pasifik.
Pengiriman dilakukan secara bertahap.
Sebanyak 6 unit Rafale akan dikirim pada 2026.
Sedangkan sisanya akan dikirim dua kali 18 unit sampai tahun 2030.
Sehingga, saat ini Indonesia harus mulai mengintegrasikan teknologi Rafale F4 yang canggih dalam sistem pertahanan.
Bagi Prancis sendiri ternyata sudah siap memproduksi Rafale secara masal.
Sehingga, Dassault Aviation terus mempromosikan Rafale ke beberapa daerah.
Dalam artikel pada 26 Juli 2024, SLDinfo.com melaporkan, Presiden Prancis Emmanuel Macron menginstruksikan Dassault Aviation untuk memasarkan Rafale sebanyak mungkin.
Ini untuk mrespons kemungkinan situasi politik global dan perang ekonomi, selain merespons perkembangan politik di Prancis.
"Di Prancis, presiden sebagai kepala angkatan bersenjata, telah mengirim surat kepada perusahaan pertahanan untuk meningkatkan produksi dan penjualan karena konteks perang ekonomi," kata CEO Dassault Aviation, Eric Trappier, 23 Juli 2024.
Ia menambahkan, Dassault Aviation memprioritaskan pembuatan Rafale bermesin ganda juga atas instruksi presiden.
Presiden Emmanuel Macron juga aktif mempromosikan Rafale, termasuk melakujkan kunjungan ke Kazakhstan dan beberapa negara.
Sehingga, wajar jika Dassault Aviaton mengenakan syarat kepada Indonesia untuk menggenapi akuisisi 100 Rafale jika ingin transfer teknologi secara utuh dan memproduksi beberapa unit secara mandiri.
Prancis adalah operator utama Rafale, dengan lebih dari 190 pesawat yang didedikasikan untuk kebutuhan Angkatan Udara dan Angkatan Laut negara itu.
Selain Prancis, beberapa negara lain telah memilih Rafale sebagai bagian dari angkatan udara mereka.
Mesir merupakan salah satu pelanggan ekspor pertama, dengan 54 unit yang dipesan hingga saat ini.
India memiliki 36 pesawat Rafale dalam inventarisnya.
Qatar juga memiliki 36 jet Rafale, sementara Yunani telah membuat kontrak untuk membeli 24 unit.
Indonesia bakal memiliki 42 Rafale, sementara Uni Emirat Arab (UEA) sudah memesan 80 Rafale.
Serbia yang terbiasa dengan pesawat Rusia, kini juga sudah memesan 12 Rafale.
Dassault Aviation, sesuai kebijakan presiden, masih ingin mempromosikan Rafale ke beberapa negara.
Sangat wajar, di tengah tekad memproduksi Rafale besar-besaran, Dassault Aviation mengenakan syarat Indonesia harus memiliki 100 unit untuk bisa terlibat dalam produksi pesawat generasi 4,5 ini.
Marketing PTDI :marketing-ptdi@indonesian-aerospace.com
Sekretariat PTDI :sekretariatptdi@indonesian-aerospace.com