11 Maret 2025
Kemitraan PTDI dan KAI untuk Perakitan KF-21 Boramae di Dalam Negeri Buka Jalur Rantai Pasok di ASEAN
ZONAJAKARTA.com - Proyek pengembangan jet tempur generasi 4,5 asal Korea Selatan yakni KF-21 Boramae nyaris tak mungkin bisa dilakukan sendirian oleh Korea Aerospace Industries (KAI).
Tetapi juga perlu melibatkan mitra internasional seperti PT Dirgantara Indonesia (PTDI) yang memang sudah berpartisipasi sejak awal.
Bahkan adanya kemitraan PTDI dan KAI berpotensi besar untuk membuka jalur rantai pasok KF-21 Boramae di kawasan ASEAN.
Dalam beberapa waktu belakangan, perkembangan kerja sama antara Indonesia dengan Korea Selatan terkait pengembangan KF-21 Boramae terus menunjukkan progresnya.
Direktur Utama PTDI Gita Amperiawan menyambut positif adanya kemajuan ini, sesuai dengan apa yang dia harapkan dalam setiap pengadaan pesawat impor.
Menurut Gita, Indonesia sebagai negara yang sangat diperhitungkan di dunia militer tidak boleh hanya berhenti sebagai target pasar dari produk jet tempur asing.
"Intinya dalam program ini, Indonesia khususnya industri pertahanan nasional harus dapat manfaat yang maksimal," kata Gita sebagaimana dikutip ZONAJAKARTA.com dari laman Antaranews.com edisi 8 November 2024 dalam artikelnya yang berjudul "Kemenhan dan PT DI bahas kemajuan program jet tempur KFX/IFX".
Pernyataan Gita tadi tidak hanya berlaku untuk proyek pengembangan KF-21 Boramae saja.
Tetapi juga ketika Indonesia membeli 42 unit Rafale maupun produk pesawat lainnya yang akan diakuisisi (termasuk rencananya KAAN jika jadi).
Sepanjang proyek pengembangan KF-21 Boramae berlangsung, Indonesia sempat harus melalui jalan berliku.
Bahkan sejak 2019, proses pembayaran angsuran terhadap kewajiban yang harus ditanggung sempat terhenti.
Padahal saat kesepakatan awal, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI diharuskan untuk membayar total kontribusi sebesar 1,6 triliun won.
Angin positif pun datang pada Agustus 2024, di mana Defense Acquisition Program Administration (DAPA) akhirnya menyetujui proposal pengurangan total kontribusi yang wajib dibayarkan Indonesia.
Menurut pemberitaan laman Korea JoongAng Daily melalui artikel berjudul "DAPA approves plan to reduce Indonesia's financial contribution to KF-21 fighter project" yang dimuat pada 16 Agustus 2024, kini pemerintah hanya perlu membayar sebesar 600 miliar won saja.
Dari total tersebut, negeri ini baru membayar kurang lebih 300 miliar won sehingga kini hanya tinggal melunasi separuhnya saja.
Bersamaan dengan dimulainya upaya untuk melunasi kewajiban ini, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan RI Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha sempat menyatakan bahwa akan ada benefit berupa transfer teknologi yang bakal diperoleh Indonesia dari proyek KF-21 Boramae yang tengah berlangsung.
Mulai dari kemampuan desain awal, perakitan akhir (final assembly), hingga uji terbang dan re-sertifikasi.
Yang tentunya sangat bermanfaat bagi kemajuan PTDI di masa mendatang.
"Ada beberapa alih teknologi (ToT) akan didapatkan dari kerja sama pengembangan bersama pesawat tempur KFX/IFX, yaitu kemampuan produksi bagaimana mendesain, membangun pesawat tempur, membuat beberapa komponen meliputi sayap, ekor, beberapa bagian body belakang pesawat, dan beberapa pylon/adapter untuk persenjataan dan sensor, melakukan final assembly (perakitan akhir), uji terbang, dan re-sertifikasi untuk pesawat IFX," ujar Edwin saat dihubungi Antaranews.com pada 20 Agustus 2024.
Meski Korea Selatan mengklaim pihaknya hanya menggandeng Indonesia sebagai mitra, proyek KF-21 Boramae rupanya juga melibatkan dua raksasa industri dirgantara dari negara Barat.
Tak lain dan tak bukan adalah Lockheed Martin (Amerika Serikat) dan Eurofighter Typhoon Limited (Inggris, Italia, Spanyol, Jerman).
Melansir artikel berjudul "KF-21 Keeps Making Progress, But Hard Tasks Await" yang dimuat oleh laman Aviation Week pada 25 Oktober 2023, kedua perusahaan tersebut rupanya juga ikut serta dalam proyek pesawat penerus FA-50 ini tanpa diketahui publik.
Lockheed Martin sendiri disebut-sebut ikut mengirimkan 60 orang insinyur mereka untuk berkolaborasi dengan mekanik dari KAI.
Begitu pula dengan Eurofighter Typhoon Ltd yang jumlahnya tidak dipublikasikan.
Namun dalam posisi seperti ini, Indonesia justru tampak sejajar dengan kedua raksasa dirgantara global tadi.
Yang artinya PTDI memiliki kemampuan yang sangat layak untuk bersaing di pasar internasional.
Dengan kata lain, masuknya Amerika Serikat dan Eropa dalam pengembangan KF-21 Boramae secara diam-diam membawa keuntungan tersendiri bagi Indonesia.
Dalam hal ini, PTDI sangat siap apabila nantinya dipercaya KAI menjadi bagian dari rantai pasok pesawat tersebut di kawasan ASEAN.
Sebab sudah ada negara yang menanti perluasan aspek kemitraan PTDI dan KAI ini ketika nantinya KF-21 Boramae bisa dirakit di dalam negeri.
Sebut saja Malaysia dan Filipina yang sudah lama mengoperasikan FA-50, sehingga KAI pun turut merekomendasikan KF-21 Boramae sebagai pesawat penggantinya di masa mendatang.
Pabrikan tidak hanya melihat track record penggunaan salah satu produknya oleh kedua negara tetangga Indonesia ini, melainkan potensi kedua negara untuk sanggup membelinya lantaran harganya yang terbilang murah namun tetap bisa bersaing dari segi kualitas.
Source: https://www.zonajakarta.com/nasional/67314732232/kemitraan-ptdi-dan-kai-untuk-perakitan-kf-21-boramae-di-dalam-negeri-buka-jalur-rantai-pasok-di-asean?page=3