February 03rd, 2025
PTDI Inginkan Lisensi Produksi Rafale Beserta MRO di Indonesia, Mungkinkah Bisa Penuhi TKDN?
ZONAJAKARTA.com - Indonesia akan segera kedatangan jet tempur generasi 4,5 buatan Dassault Aviation yakni Rafale mulai tahun 2026 mendatang.
PT Dirgantara Indonesia (PTDI) pun berniat untuk memperoleh lisensi produksi Rafale beserta fasilitas maintenance, repair, and overhaul (MRO) di tanah air.
Lantas bisakah kepemilikan lisensi produksi Rafale oleh PTDI juga memungkinkan terpenuhinya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)?
Sebagaimana diketahui, Indonesia baru saja sukses menyelesaikan transaksi pembelian Rafale pada awal Januari 2024 lalu sejak dimulainya kontrak pengadaan di bulan Februari 2022.
Proses pembelian dieksekusi secara bertahap mulai September 2022 untuk enam unit pertama.
Delapan belas unit berikutnya menyusul pada Agustus 2023, dan barulah delapan belas unit sisanya diselesaikan tepat setahun yang lalu.
Artinya penyelesaian transaksi ini membuat Indonesia hanya tinggal menunggu kedatangan 42 unit yang dimulai secara bertahap per tahun depan.
Berbagai persiapan terus dilakukan untuk memastikan agar TNI AU benar-benar siap secara teknis maupun mental untuk mengoperasikannya.
Dilansir ZONAJAKARTA.com dari laman Antaranews.com edisi 8 Januari 2025 dalam artikelnya yang berjudul "KSAU dan Menhan bahas rencana kedatangan pesawat tempur Rafale", rencananya pesawat asal Prancis tersebut bakal ditempatkan di dua kota paling strategis yakni Pekanbaru dan Pontianak.
Penempatan Rafale di Pekanbaru dan Pontianak bukanlah tanpa alasan yang jelas.
Pekanbaru dipilih lantaran Indonesia berkepentingan untuk mengawasi dan mengamankan kawasan Selat Malaka, yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura.
Sementara Pontianak memiliki kaitan dengan Laut Natuna Utara di mana negeri ini berkepentingan lantaran memiliki hak atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di kawasan Laut Natuna Utara.
Di mana keduanya merupakan jantung dari kedaulatan NKRI yang harus dikawal agar tak jatuh ke tangan negara lain.
Wajib Tambah Unit untuk Transfer Teknologi
Nilai kontrak pengadaan 42 unit Rafale yang diajukan Indonesia ditaksir mencapai angka 8,1 miliar dolar AS.
Dengan angka yang cukup fantastis tersebut, negeri ini tidak cukup jika hanya memperoleh unit pesawatnya semata.
Tetapi juga menginginkan benefit berupa transfer teknologi sebagai landasan bagi NKRI untuk memiliki kemampuan untuk memproduksi jet tempur kelas dunia secara mandiri di masa mendatang.
Hanya saja untuk memperoleh transfer teknologi dari pesawat tersebut, Dassault Aviation mengajukan persyaratan tambahan untuk menambah jumlah armadanya minimal 58 unit.
Sehingga Indonesia tercatat memiliki minimal 100 unit jika dihitung dari unit yang sudah dibeli sejak pertama kalinya pada tahun 2022.
"Transfer teknologi akan terjadi jika Indonesia menambah pesanannya menjadi 100 unit. Ini adalah persyaratan pabrikan Dassault Aviation," demikian bunyi artikel laman Bulgarian Military dengan judul "Dassault Aviation pushes Indonesia to acquire 100 Rafale jets" yang dimuat pada 30 September 2024.
Pentingnya Transfer Teknologi Bagi Indonesia
Mengenai pentingnya transfer teknologi di balik pembelian Rafale bagi Indonesia, PTDI sudah memiliki sejumlah dasar yang dinilainya sangat kuat.
Pertengahan tahun 2024 lalu, salah satu anak perusahaan dari DEFEND ID ini sudah mengusulkan adanya engineering work package (EWP) dalam kerja sama offset (imbal beli) untuk setiap pengadaan alutsista buatan asing termasuk berbagai produk jet tempur.
"Di luar offset yang menjadi standar Kemhan RI, kami usulkan satu proposal yang bernama engineering work package atau EWP," kata Direktur Utama PTDI Gita Amperiawan dikutip dari artikel berjudul "PT DI usul engineering work package dalam offset pengadaan Rafale" yang dimuat oleh laman Antaranews.com pada 1 Juli 2024.
Dari EWP yang diusulkan tersebut sudah mencakup fasilitas MRO yang didirikan di markas PTDI yakni Bandung, Jawa Barat sehingga proses perawatan, perbaikan, dan perombakan bisa dilaksanakan di negeri sendiri.
Namun itu saja tidak cukup, lantaran Gita juga menginginkan agar perusahaan yang dipimpinnya memiliki kemampuan dasar untuk merakit Rafale secara mandiri dengan skema lisensi produksi dari Dassault Aviation.
"Ada beberapa teknologi kunci yang justru kami harapkan akan menjadi komplementer pada saat kita membangun kemampuan (produksi) jet tempur kita sendiri," ujarnya dalam artikel Antaranews.com lainnya yang berjudul "PTDI tekankan RI perlu kuasai teknologi kunci dalam pengadaan Rafale" pada edisi 27 September 2024.
Bagi Gita, transfer teknologi sangat penting sebagai kunci agar Indonesia bisa menjadi bagian dari rantai pasok global Rafale.
"Ke depannya kami bisa menjadi bagian dari rantai produksi globalnya mereka," katanya.
Meski demikian, muncul pertanyaan terkait pemenuhan TKDN jika lisensi produksi Rafale berhasil diperoleh PTDI.
Melansir laman resmi Dassault Aviation, selama ini Rafale ditopang oleh berbagai macam rudal yang memiliki reputasi tinggi di kancah dunia seperti MBDA Meteor, SCALP, hingga AM39 Exocet.
Agar negeri ini bisa memproduksi rudal dengan kemampuan setara dengan nama-nama di atas, dibutuhkan pula transfer teknologi yang dapat dilakukan melalui skema kolaborasi produksi dengan pabrikan terkait.
Sehingga nantinya NKRI bisa menyamai kemampuan Turki maupun Korea Selatan yang sudah mampu merakit senjata sendiri untuk dipasangkan pada jet tempur produksi masing-masing maupun yang diimpor dari luar negeri.
Di sisi lain, tidak semua negara memiliki kemampuan yang sama untuk memproduksi berbagai macam rangkaian sistem avionik setara dengan negara-negara mapan dalam industri dirgantara.
Sistem avionik pada Rafale diketahui seluruhnya dipasok oleh Thales.
Termasuk dalam hal ini radar active electronically scanned array (AESA) RBE2-AA.
Selain itu, Thales diketahui juga memasok sistem peperangan elektronik (EW) SPECTRA dan Optronique Secteur Frontal infra-red search and track (IRST) system bernama SAGEM-OSF.
Meski demikian, bukan tidak mungkin bagi Indonesia untuk bisa memproduksi komponen serupa di masa mendatang.
Hanya saja dibutuhkan concern yang lebih serius dari stakeholder terkait untuk mencapainya.
Sehingga pada nantinya unsur TKDN bisa mendominasi keseluruhan rangkaian komponen pesawat jika PTDI memiliki lisensi produksi Rafale di dalam negeri.***
Source: https://www.zonajakarta.com/nasional/amp/67314460533/ptdi-inginkan-lisensi-produksi-rafale-beserta-mro-di-indonesia-mungkinkah-bisa-penuhi-tkdn